RSS

Author Archives: Hendriyan Wiprantoko

About Hendriyan Wiprantoko

Hendriyan Wiprantoko, anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuan saya bernama Arlyn dan adik perempuan saya bernama Riris. Saya lahir kira-kira dua puluhan sekian tahun yang lalu di sebuah kota yang sangat istimewa yaitu Yogyakarta, kota pelajar, kota wisata, kota gudeg, kota penuh sejarah. Saya lahir dengan membawa kebahagian yang luar biasa kepada keluarga terutama bapak ibu tercinta. Dan saya kira teman-teman saya pun juga bahagia karna ada saya,haha...GeEr... Satu impian yang selalu ingin saya capai yaitu membahagiakan orangtua saya, berbakti kepada mereka, berguna bagi sesama, tidak merugikan orang lain dan hidup dengan cukup. Cukup makan, cukup tempat tinggal yang nyaman, cukup satu istri, cukup satu mobil, cukup satu hektar lahan dan cukup cukup yang lainnya...:)

Tugu Jogja

Bila datang ke Yogyakarta, dan kebetulan Anda bingung menentukan arah mau ke mana, ada satu patokan yang pasti dikenal oleh seluruh Wong Yogya. Itulah Tugu. Sebuah bangunan monumen sejarah yang terletak di perempatan bertemunya Jalan P Mangkubumi di sisi selatan, Jalan AM Sangaji di sisi utara, Jalan Jenderal Sudirman di sebelah timur, dan Jalan P Diponegoro di sebelah barat. Tugu setinggi 15 meter itu diresmikan pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa.

Dari Tugu itu pula, maka pendatang dari luar Yogya seolah bisa ”menggenggam” seluruh kawasan kota ini. Tinggal mau ke mana? Semua bisa ditempuh dalam hitungan menit. Yogya kota kecil, Tugu bisa menjadi poros segala arah. Jika kemudian bingung di dalam kota Yogya, silakan kembali ke Tugu. Dijamin Anda tidak bingung lagi!

Asal tahu saja, Tugu itu ternyata juga menjadi salah satu poros imajiner pihak Kraton Yogyakarta. Jika ditarik garis lurus dari selatan ke utara, atau sebaliknya; maka akan ditemukan garis lurus ini: Laut Selatan (konon dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul, istri Sultan Raja-raja Mataram), Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.


Bahkan, Sultan sebagai penguasa Kraton Yogyakarta, jika duduk di singgasana di Siti Hinggil Kraton, ia bisa memandang Gunung Merapi di sisi utara. Ikatan magis antara Laut Kidul, Kraton, dan Gunung Merapi hingga saat ini dipercaya oleh Wong Yogya. Oleh sebab itu budaya larungan selalu dilaksanakan pada bulan Sura di Laut Selatan maupun Gunung Merapi oleh pihak Kraton.

Filosofi Berubah

Seiring dengan perjalanan sejarah, Tugu yang sudah berumur 100 tahun lebih itu rupanya akan diubah bentuknya. Perubahan bentuk itu – jika jadi dilakukan — jelas bisa dibilang melanggar undang-undang cagar budaya. Namun apa mau dikata jika yang mau mengubah adalah pihak Kraton Yogyakarta? Tentunya ada alasan kuat yang mendasarinya. Konon, dari catatan sejarah disebutkan, sosok Tugu yang ada sekarang itu sebenarnya telah mengalami perubahan bentuk dari sosok aslinya. Tugu itu semula didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kerajaan Yogyakarta setelah Mataram Islam yang berpusat di Kartasura terpecah menjadi dua. Sebagian menjadi Kasultanan Yogyakarta, sebagian lagi menjadi Kasunanan Surakarta pada Perjanjian Giyanti tahun 1755. Tugu itu dulu disebut Tugu Golong-Gilig.

Bentuk Tugu Golong-Gilig itu, konon, puncaknya berupa golong (bulatan mirip bola) dan bawahnya berbentuk bulat panjang/silindris atau gilig. Tugu Golong-Gilig tersebut melambangkan tekad yang golong gilig (menyatunya pimpinan/raja dengan rakyatnya). Makna lebih jauh adalah bersatunya raja dan rakyatnya dalam perjuangan melawan musuh maupun menyatu dalam membentuk pemerintahan dalam satu negara. Di sisi lain juga bisa dimaknakan sebagai hubungan antara manusia dengan Sang Khalik.

Jika melihat makna Tugu Golong-Gilig adalah bersatunya antara raja dan rakyat, maka hal itu bisa dimengerti karena pendiri Kerajaan Yogyakarta – kala itu – dikenal sebagai pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Kerajaan Mataram Islam yang justru dikuasai penjajah Belanda. Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I) memilih memberontak dan memisahkan diri daripada kerajaan di bawah pengaruh kekuasaan Belanda.

Pernah Runtuh

Tugu Golong-Gilig semula dibangun setinggi 25 meter. Kemudian karena gempa tektonik pada 10 Juni 1867 atau 4 Sapar Tahun EHE 1284 H atau 1796 Tahun Jawa sekitar pukul 05.00 pagi, tugu itu rusak terpotong sekitar sepertiga bagian. Musibah itu bisa terbaca dalam candra sengkala – sebuah catatan kata yang bermakna angka tahun — Obah Trusing Pitung Bumi (1796).

Tugu itu kemudian diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat/Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Lalu tugu baru itu diresmikan HB VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa. Oleh pemerintah Belanda, tugu itu disebut De Witte Paal (Tugu Putih).

Menurut kerabat Kraton Yogyakarta yang juga Kepala Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah) Daerah Istimewa Yogyakarta, Raden Mas Haji Tirun Marwito SH; saat ini Kraton Yogyakarta memang sedang mengkaji kemungkinan mengembalikan Tugu Yogya ke bentuk asalnya. ”Bentuk Tugu yang sekarang ini sudah direkayasa oleh pihak penjajah Belanda saat itu. Akibatnya makna filosofinya sudah berubah,” tuturnya.

Saat dibangun kembali oleh pemerintah Belanda itu, di sana ada candra sengkala Wiwaraharja Manunggal Manggalaning Praja atau tahun Jawa 1819 yang berarti pintu menuju kesejahteraan bagi para pemimpin negara. Hal itu jelas bertentangan dengan simbol Golong-Gilig. Oleh sebab itulah maka pihak Kraton Yogyakarta berniat mengubah bentuk tugu yang sekarang.

”Bila nanti rencana itu dilaksanakan, ada beberapa kemungkinan yang akan ditempuh. Misalnya, Tugu Yogya yang ada sekarang ini dipindah dan diletakkan di pinggir jalan sebagai monumen bahwa Tugu Yogya pernah berbentuk seperti itu. Lalu di lokasi tempat tugu itu berada dibangun kembali Tugu Golong-Gilig seperti yang pernah dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I,” kata Tirun.

 

 
Leave a comment

Posted by on April 1, 2011 in Tentang Jogja

 

Monumen Jogja Kembali (MONJALI)

Monumen ini dibangun pada tanggal 29 Juni 1985, dengan Upacara Tradisional Penanaman Kepala Kerbau dan Peletakan Batu Pertama oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII.Semula gagasan untuk mendirikan Monumen yang berskala Nasional ini dilontarkan oleh Bapak Kolonel Soegiarto selaku Wali Kotamadya Yogyakarta, dalam peringatan Yogya Kembali yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1983.
Atas saran/usulan Bapak DR. Ruslan Abdulgani dan Bapak Marsudi.Dipilihnya nama “Yogya Kembali” dengan pengertian yang luas, berfungsinya pemerintah Republik Indonesia dan sebagai tetenger peristiwa sejarah ditarik mundurnya tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya presiden Soekarno , wakil presiden, pimpinan negara yang lain pada 6 Juli 1949 di Yogyakarta. Hal ini dapat dipandang sebagai titik awal Bangsa Indonesia secara nyata bebas dari cengkeraman penjajah khususnya Belanda dan merupakan tonggak sejarah yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Dilihat dari bentuknya monumen ini berbentuk kerucut / gunungan dengan ketinggian 31,80 meter adalah sebuah gambaran “Gunung Kecil” ditempatkan disebuah lereng Gunung Merapi. Gunung ini sangat berarti bagi Yogyakarta baik secara faktual maupun simbolik. Muntahan lava Gunung Merapi memberikan kesuburan bagi cakrawala Yogyakarta dimanapun seseorang berada, dari Gunung Merapi pula sungai Winongo dan Code yang mengalir melalui kota Yogyakarta.

Secara simbolik bersama laut selatan (Istana Ratu Kidul) yang berfungsi sebagai “Yoni” dan Gunung Merapi sebagai “Lingga” merupakan suatu kepercayaan yang sangat tua dan berlaku sepanjang masa. Bahkan sementara orang menyebut monumen ini sebagai tumpeng raksasa bertutup warna putih mengkilat dalam tradisi Jawa tumpeng seolah-olah sebagai bentuk gunung yang dapat dihubungkan dengan kakayun atau gunungan dalam wayang kulit, yang melambangkan kebahagiaan/kekayaan kesucian, dan sebagai penutup setiap episode.

Monumen ini terletak di Jalan Lingkar Utara, Dusun Jongkang, Desa Sariharja Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Didirikan di atas lahan seluas 49-920m2. Lokasi ini ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan alternatif diantaranya terletak di garis poros antara Gunung Merapi – Monjali – Tugu Pal Putih – Kraton – Panggung Krapak – Laut Selatan merupakan “Sumbu Imajiner” yang pada kenyataannya sampai sekarang masih dihormati oleh masyarakat Yogyakarta, dan menurut kepercayaan bersatunya Lingga dan Yoni akan menimbulkan kemakmuran di tempat ini sebagai batas akhir ditariknya mundur tentara Belanda ke arah utara; usaha kesinambungan tata kota kegiatan dan keserasian Daerah Yogyakarta.
Monumen ini diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soeharto pada tanggal 06 Juli 1989 dengan penandatanganan prasasti. Adapun tujuan pembangunan monumen ini adalah sebagai berikut :
a. Mengabadikan peristiwa kembalinya Ibukota Yogyakarta ke tangan bangsa Indonesia. Perjuangan tersebut tidak melalui jalan yang mudah, tetapi dengan berbagai cara baik bersenjata, diplomasi maupun perang urat saraf dan sebagainya
b. Memperingati kembalinya Ibukota RI Yogyakarta ke tangan bangsa Indonesia sekaligus berakhirnya kolonialis Belanda di Indonesia.
c. Merupakan ungkapan penghargaan dan rasa terima kasih kepada para pahlawan yang telah mengorbankan jiwanya dalam merebut kembali Yogyakarta sebagai Ibukota RI
d. Mewariskan dan melestarikan jiwa, semangat nilai-nilai luhur perjuangan bangsa Indonesia kepada generasi penerus, sebagai wahana pendidikan, mempertebal identitas dan watak bangsa Indonesia yang patriotik, luhur, harga diri, ulet dan tahan menderita dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.

Sebagai bangunan monumental diharapkan Monjali dapat digunakan sebagai sarana rekreasi, sarana pendidikan dan penelitian akan kronik sejarah perjuangan. Secara nyata bisa dilihat, dirasakan dan diresapi oleh generasi penerus dengan demikian kecintaan akan tanah air dan sejarah perjuangan bangsanya tidak akan larut oleh situasi, kondisi, arus informasi, dan globalisasi serta meningkatkan ketahanan nasional.
Keberadaan Monjali di tengah-tengah khasanah museum perjuangan yang lainnya di seluruh Nusantara dapat kita simak dan kita pahami penyajian koleksi berikut ini.

A. TAMAN DAN SEKITARNYA
Bila pengunjung masuk Monjali melalui pintu timur dapat diamati koleksi antara lain:
1. Replika Pesawat Cureng terletak di taman bermain sebelah utara portir timur.
2. Meriam PSU-S60 kaliber 57 mm dan meriam PSU Bofors L-60 kaliber 40 mm, di sudut Plaza Timur.
3. Bila pengunjung masuk melalui pintu Portir Barat dapat diamati koleksi antara lain : Replika Pesawat Guntai yang terletak di taman sebelah area parkir.
4. Meriam PSU-S60 Kal 57 mm dan PSU Bofors L-60 kal. 40 mm.
5. Logo/lambangDi tengah plaza berdiri tiang bendera merah-putih sebagai tanda bahwa plaza ini berfungsi sebagai tempat upacara. Juga berfungsi untuk menikmati pemandangan Monjali dengan latar belakang Gunung Merapi. Di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dimanfaatkan pula oleh masyarakat sekitar untuk melaksanakan ibadah sholat Ied.Sebagai pembatas plaza dan halaman dalam dibangun dinding rana yang memanjang dari timur ke barat, tinggi 3 m dan panjang 60 m di tengah-tengah dinding rana bagian luar dipasang logo. Lambang Monjali yang berbentuk lingkaran dengan garis silang yang membelah dan dihiasi dengan ornamen gapuro berjumlah empat. Yang dibaca “Gapuro Papat Ambuka Jagad” yang ditulis dengan huruf Jawa, hal ini Surya Sengkala yang dapat diartikan sebagai angka tahun terjadinya peristiwa Yogya Kembali. Gapuro = 9, Papat = 4, Ambuka = 9, Jagad = 1, bacanya dibalik menjadi tahun Masehi 1949.
6. Daftar Nama-Nama PahlawanNama pahlawan yang gugur di Daerah Wehrkreis III pada tanggal 19 Desember 1948 – tanggal 28 Juni 1949, sejumlah 422 antara lain : 168 orang AD, 30 orang AL, 42 orang AU, 32 orang Polisi Negara, 8 orang Cadet Militer Akademi, 37 orang TNI Brigade XVII/TP, 10 orang PNS dan Gerilyawan/Rakyat pejuang 122 Orang, sedangkan untuk pahlawan yang tidak dikenal disediakan satu bidang khusus di tengah-tengah rana dengan dituliskan kalimat “Pahlawan Tidak Dikenal” dan di bawahnya dikutip syair Chairil Anwar berjudul “Kerawang – Bekasi” “………Kami Cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau kau jiwa kami melayang untuk kemerdekaanKemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apaKami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkataKaulah sekarang yang berkata……………”

B. KOLEKSI HALL LANTAI SATU
Dari halaman dalam ini kita amati bangunan induk MONJALI yang berdiri kokoh, dan terlihat pintu masuk lantai II menghadap ke selatan. Bangunan induk ini dikelilingi dengan kolam yang berfungsi sebagai pengaman dan dalam tradisi Jawa dapat diartikan sebagai penolak balak. Namun sebelum ke lantai II, pengunjung terlebih dahulu menuju lantai I dengan mengelilingi kolam sebelah barat, pintu masuk lantai I berada di sebelah barat.
Lantai pertama terdiri dari :-Ruang Pengelaola atau ruang bagian umum yang berfungsi sebagai ruang kerja, yang dilengkapi dengan ruang informasi.-Ruang perpustakaan berada di sebelah kiri pintu keluar lantai satu, perpustakaan MONJALI merupakan perpustakaan khusus yang menyediakan bahan-bahan referensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh umum.-Ruang serbaguna terletak di tengah-tengah bangunan lantai I yang dilengkapi dengan panggung terbuka.-Ruang bagian operasional.-Ruang souvenir terletak di samping kanan pintu keluar lantai I (pintu sebelah timur).Hall Lantai I dipamerkan koleksi diantaranya :
1. Patung Dada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Letnan Jendral Oerip Soemoharjo.
2. Panil foto pelaksanaan Pembangnan MONJALI berada disamping kanan patung dada Pangsar Jendral Soedirman.
3. Patung foto Imam Bonjol (1722 – 1864)
4. Meriam Jugo M-48
5. Dokar Tentara Pelajar
6. Patung Nyi Ageng Serang
7. Meriam PSU Akan Bofors
8. Patung Tengku Umar (1854 – 1899)
9. Patung Tjut Nyak Dien (1850 – 1908)
10. Meriam PSU Ourlikon Kal – 20 mm
11. Meriam Jugo M-48 Kal. –76 mm
12. Panil dinding foto kegiatan Tentara Pelajar
13. Dinding Ruang Serbagunan

KOLEKSI MUSEUM
Museum MONJALI merupakan museum khusus dalam kategori museum sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kurun waktu perang kemerdekaan tahun 1945 –1949. Museum ini berada di lantai pertama dan menggunakan empat ruang masing-masing berukuran 146 m2. Adapun koleksi museum ini adalah benda-benda visual, audiovisual, korporil, replika dan bagan-bagan struktur organisasi yang tata pamerannya disusun kronologis tematis, kronologis tipelogis sesuai alur sejarah perjuangan bangsa Indonesia selama perang kemerdekaan dengan maksud untuk memudahkan memahami perjalanan sejarah dimasa revolusi phisik. Dalam penyajiannya dilengkapi dengan sarana tata pameran berupa panil di dinding, schutsel, boxsistim dan vitrin (tengah, sudut dan dinding) yang dijabarkan berikut ini :

A.RUANG MUSEUM
Merupakan ruang pamer tetap dengan Thema “SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN” di ruang museum I disajikan benda-benda koleksi yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia dari peristiwa sekitar Proklamasi Kemerdekaan hingga penumpasan PKI di Madiun tahun 1948, sebagaimana penyajian di bawah ini :
1. Panil Tegak I
Pada panil ini disajikan dokumen foto-foto peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta terdiri dari :a.Ibu Fatmawati ketika menjahit Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945.b.Pembacaan Teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta jam 10.00.c.Upacara pengibaran Bendera Merah Putih oleh Latief Hindraningrat dan Suhud Martakusuma.d.Sebagian dari anggota Kabinet Indonesia Pertama setelah pelantikan tanggal 14 Nopember 1945 (3 bulan).

2. Panil Dinding I
Disajikan 4 bingkai dokumen foto peristiwa sewaktu rakyat Jakarta dalam menyambut Gema Proklamasi di lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945 terdiri dari :a.Rakyat Jakarta berbondong-bondong menuju lapangan Ikada untuk menyambut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.b.Presiden Soekarno ketika menyampaikan pesan singkat, beliau tidak jadi berpidato hanya menyampaikan pesan kepada rakyat Indonesia agar tetap percaya kepada para pemimpinnya.c.Suasana rapat umum di lapangan Ikada yang dijaga oleh bala Tentara Jepang.Sebagaian rakyat yang hadir di lapangan Ikada, nampak spanduk yang mereka bawa antara lain berbunyi “SATU TANAH AIR SATU BANGSA DAN SATU TEKAD TETAP MERDEKA”

3.Vitrin Sudut I
Dalam Vitrin ini dilestarikan benda-benda koleksi yang mendukung perjuangan phisik bersenjata rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang berupa :a.Mikrophone, dilengkapi dengan ilustrasi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut Gema Proklamasi.b.Sabil Morsose 2 buah milik Prajurit Indonesia yang telah mengikuti pendidikan militer Jepang.c.Bambu runcing, dilengkapi dengan potret diri Kyai Haji Subchi.
4. Panil Dinding 2
Disajikan 4 bingkai dokumen foto situasi rakyat Yogyakarta sewaktu menyambut Gema Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, terdiri dari :a.Sri Sultan Hamengku Buwana IX, usai menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan merupakan bagian dari Daerah Istimewa dalam Negara Indonesia, 5 September 1945.b.Sebagian jenazah korban dari pertempuran Kotabaru, Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1945.c.Suasana Konggres Pemuda yang pertama yang bertempat di Gedung Senisono Yogyakarta pada tanggal 10 November 1945, d.AURI dengan pesawat Cureng yang baru saja berhasil diperbaiki, berdemonstrasi di atas kota Yogyakarta untuk memeriahkan jalannya Konggres Pemuda yang pertama.

5. Panil Dinding 3
Disajikan sebuah bagan susunan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dilengkapi peta timbul Wilayah DIY.

6. Panil Dinding 4
Disajikan 6 bingkai foto perjuangan bangsa Indonesia dalam bidang politik diplomasi, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya setelah Ibukota RI berkedudukan di kota Yogyakarta antara lain :a.Berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada di Pagelaran Kraton Yogyakarta.b.Kegiatan APWIc.PERESMIAN DAN PEMBUKAAN Bank Negara Indonesia di bekas Gedung Javasche Bank Yogyakarta.d.Contoh uang ORI, sebagai pengganti mata uang NICA.e.Barisan bambu runcing.f.Gerakan pemberantasan buta huruf di Yogyakarta.

7. Panil Dinding 5
Disajikan 6 bingkai foto sebagai kelanjutan dari penyajian Panil Dinding 5 terdiri dari : a.Pelantikan BPKNIP, di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta.b.Suasana pelantikan laskar-laskar perjuangan rakyat dalam memperkokoh TRI di Yogyakarta.c.Kegiatan para seniman patung Yogyakarta.d.Penurunan bantuan obat-obatan dari India.e.Suasana demonstrasi rakyat Pasundan di Yogyakarta.f.Presiden Soekarno membuka pemberantasan buta huruf di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

8. Teras Sudut Ruang Museum
Dalam teras sudut ruang museum ini dilestarikan senjata-senjata revolusi phisik hasil rampasan Jepang dan Sekutu selanjutnya digunakan sebagai modal dasar rakyat Indonesia dalam merebut, mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan antara lain : Senapan Brouwning, Senapan Mesin Ringan MKI, Mortir 80, Senapan masin Berat HBEL, Water Matel, dan Replika Kekikanyu serta Leuwis. Disamping itu juga dilestarikan unsur-unsur pendukung kekuatan bersenjata yang berupa replika pakaian seragam antara lain :a.HEIHO b.PETA c.LASWI d.POLISI ISTIMEWA e.GERILYA f.T.P. g.CADET VAANDRIGT

9. Vitrin Dinding I
Didalam vitrin dilestarikan berbagai jenis senjata tajam milik pejuang yang digunakan selama perang kemerdekaan berupa : 3 buah keris, 2 buah samurai, 2 buah tombak, kudi dan golok serta replika perlengkapan prajurit PETA : Hango dan Syuitho.

10. Vitrin Dinding 2
Dilestarikan beberapa pucuk senjata api hasil rampasan dari Jepang, Sekutu dan Belanda yang selanjutnya digunakan untuk perang kemerdekaan. Terdiri dari : sepucuk senapan mesin ringan MKI dan mortir 50 serta 2 buah peluru mortir.

1. Vitrin Tengah I
Disajikan 2 buah miniatur perahu, perahu Jungkung dan perahu Mayang sebagai visualisasi peranan M/TKR AL RI dalam Operasi Lintas Laut Jawa Bali selama perang kemerdekaan. Kedua perahu ini sumbangan dari Bp Laksamana Pertama Haji Abdul Majid tanggal 13 September 1995.

12. Vitrin Tengah 2
Disajikan 2 buah miniatur kapal, kapal Pinisi sebagai visualisasi peranan ALRI dalam mendukung sejarah kebaharian khususnya di Pangkalan Teluk Palembang. Kapal Gajahmada I yang digunakan ALRI dalam pertempuran melawan kapal Perang Belanda di teluk Cirebon yang menyebabkan gugurnya Kapten Laut Samadikun beserta anak buahnya tanggal 5 Januari 1947. Miniatur kapal ini sumbangan dari Sub Dinas Sejarah dan Tradisi ABRI. Dinas Penerangan AL, Jakarta 16 Februari 1996.

13. Panil Tegak 2
Disajikan 4 bingkai dokumen foto peristiwa pertempuran rakyat Indonesia melawan Sekutu di Surabaya terdiri dari :a.Suasana pertempuran Surabaya oleh Bung Tomo 10 November 1945.b.Suasana pejuang arek-arek Surabaya waktu menghadapi Tentara Sekutu/NICA.c.Panglima Divisi Mayor Jendral Sungkono saat melapor kepada Panglima Jendral Soedirman tentang peristiwa gencatan senjata di Surabaya.d.Upacara Pemberian Ijasah lulusan Militer Akademi Yogyakarta oleh Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

14. Panil Dinding 6
Disajikan sebuah bagan Struktur Organisasi PETA wilayah Jawa Tengah.

15. Panil Dinding 7
Disajikan sebuah bagan Struktur Organisasi Badan Keamanan Rakyat (BKR)

16. Panil Dinding 8
Disajikan sebuah Bagan Struktur Organisasi Tentara Kemanan Rakyat (TKR)

Monumen ini sangat tepat menjadi sarana kita untuk memahami sejarah tanpa harus merasa digurui karena peran pemandu dalam menyampaikan setiap cerita dalam diorama sangat menarik dan tidak menjemukan. Disini pengunjung akan disegarkan kembali ingatannya akan sejarah perjuangan bangsa dan mengetahui siapa saja tokoh-tokoh dibalik perjuangan itu. Tidak salah apabila anda mengunjungi monumen ini bersama keluarga karena selain semua tempat yang telah disebutkan monumen ini juga dilengkapi dengan taman yang terletak di bagian barat dan timur. Beberapa pentas seni seperti keroncong dan campur sari sering diselenggarakan ditaman monumen ini terutama dalam perayaan-perayaan seperti Hari Raya Idul Fitri.

 

Tiket Masuk

 

Monumen ini dibuka setiap hari Selasa – Minggu pada jam 08.00- 16.00 WIB tetapi pada masa liburan sekolah monumen ini juga buka pada hari Senin dari jam 08.00- 14.00 WIB. Dengan biaya masuk Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 7.500 untuk wisatawan asing tempat ini layak untuk dijadikan tempat kunjungan wisata anda bersama keluarga.
 
1 Comment

Posted by on February 19, 2010 in Tentang Jogja

 

Tags:

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

 
1 Comment

Posted by on February 19, 2010 in Tentang Penulis